Disabilitas Bukan Halangan
Lelaki yang sibuk dengan pakaian di tangannya itu berusia sekitar
lima puluh tahun. Namanya Ceng Sahidin atau biasa dipanggil Kang Ceng. Sehari-hari
ia bekerja sebagai penjahit borongan di Kampung
Serab, bilangan Sukmajaya, Kota Depok. Ia bekerja bersama delapan temannya. Sekurang-kurangnya
dalam sehari kang Ceng bisa menyelesaikan lebih dari 50 potong baju. Jam
terbangnya tak diragukan lagi, ia telah berpengalaman
di bisnis konveksi lebih dari 10 tahun. Dan yang membuatnya berbeda dari
penjahit kebanyakan, Kang Ceng melakukan pekerjaanya hanya dengan satu kaki. Kang
Ceng seorang penyandang disabilitas yang bekerja dengan beban yang sama dengan pekerja
non-disabilitas. Meski “berbeda” dengan lingkungannya, tak ada raut sedih yang
ditunjukkan Kang Ceng. Sebaliknya ia menjalani hari-harinya dengan penuh
semangat.
Sedikit
mengenai clubfoot, ia menceritakan
sudah mengalaminya sejak lahir. Kaki kanannya mengarah ke bawah dan berbalik,
sedangkan kaki kirinya tidak sempurna. Meski begitu, dengan kaki kanannya
itulah pria asli Banjar, Tasikmalaya tersebut mencari nafkah. Tasik dikenal
sebagai kota relijius yang memiliki banyak pesantren. Begitu juga Kang Ceng, yang
sejak remaja “mondok” di salah satu pesantren. Tak hanya ngaji Al-Quran, Hadist
dan Kitab Kuning, di pesantren ia juga diajarkan keterampilan menjahit. Bekal
inilah yang mengantarkannya sebagai penjahit profesional sampai hari ini.
Sebelum
merantau ke Jakarta, Kang Ceng sempat bekerja di perusahaan garmen asal Korea
yang beroperasi di Bandung. Gajinya cukup besar. Namun karena kurangnya waktu
untuk keluarga, akhirnya ia hanya beberapa bulan disana. “Saya hanya bisa
pulang enam bulan sekali dari Bandung ke Banjar, karena pekerjaan di pabrik
sangat padat. Banyak aturan”, ujar Kang Ceng. Setelah berhenti dari perusahaan
Korea tersebut, Kang Ceng mendapatkan banyak tawaran. Salah satu temannya
mengajaknya bekerja di Bekasi. Selama di perantauan, ia berpindah kerja
beberapa kali, mulai dari Bekasi, Jakarta Utara, Jakarta Timur, hingga akhirnya
di Depok sampai saat ini.
Di
luar “markasnya” tempat menjahit, sehari-hari Kang Ceng tak pernah mengalami
kesulitan meskipun ia berjalan dengan menggunakan lututnya. Justru sering kali ada
saja orang yang membantunya. “Pernah saya naik angkot, sopirnya tidak mau dibayar.
Baik sekali sejauh ini orang-orang yang saya temui,” lanjutnya sembari
merapikan jahitan. Tempat kerja Kang Ceng merupakan usaha kecil menengah (UKM)
pakaian yang mengerjakan order pembisnis online khusus busana muslim. Sebagai
penjahit borongan, Kang Ceng mendapat upah berdasarkan produktivitas jahitan
yang diselesaikan. Biasanya ia bekerja dari jam 8 pagi hingga malam. Bahkan
sering kali lembur. Upah untuk penjahit borongan di tempat itu, menurutnya
cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari bersama istri dan anaknya.
Ia
bahkan bisa menyisihkan penghasilannya untuk menabung, lantaran ia tinggal di
tempat kerjanya juga. Tiap satu bulan sekali ia sempatkan pulang menengok
keluarga di Banjar. Meskipun jarak Depok – Banjar lebih jauh dari Bandung –
Banjar, namun karena waktu kerjayang fleksibel membuatnya lebih kerasan di
Depok. “Kita tinggal atur waktu sendiri, asalkan pekerjaan beres. Di perusahaan
Korea dulu dua Bandung tidak bisa”, kisahnya. Pembawaannya yang ramah
membuatnya mudah bergaul dengan lingkungan sekitar tempat kerjanya. Bahkan Kang
Ceng sudah akrab dengan warga di lingkungan tempat kerjanya. Salah satunya
karena ia sering Sering beribadah di Musala sekitar tempat kerjanya. Kisah Kang
Ceng adalah bukti bahwa kekurangan fisik tidak menjadi alasan untuk maju. Selama
kita mau berusaha, bekerja keras dan berdoa, Tuhan memiliki rencananya sendiri.
“Saya memang memiliki kekurangan, tapi saya selalu bersyukur dengan apa yang telah
Allah berikan kepada saya,” pungkasnya bijak.***
Penulis : Dinda Dola Putri A
Komentar
Posting Komentar